Memberi Kepercayaan kepada Anak

Seminggu ini Lia dan Furqon pergi ke Palembang. Mungkin lebih tepat dibilang mudik karena Furqon juga lahir disana. Baru ditinggal dua hari tapi rumah jadi terasa sepi sekali, jadi susah tidur 😦

Saya coba menulis apa yang diajarkan oleh Alm. Bapak saya dulu dan sedang saya terapkan ke anak saya juga. Saya pernah baca bahwa perlakuan ortu kita dulu akan sangat berpengaruh terhadap cara kita mendidik anak. Kalau dulu waktu kecil kita biasa dipukul, kemungkinan besar kita akan sering memukul anak kita juga (untungnya kedua ortu saya tidak melakukan ini). Hal ini memang saya rasakan, baik secara sadar maupun tidak. Tugas kita sebagai ortu adalah meneruskan kebiasaan yang baik dan memfilter yang jelek.

Kembali ke topik, ada satu pengalaman dengan Bapak saya yang saya ingat terus. Waktu itu saya masih di kelas 2 atau 3 SD, dan sedang maniak membaca. Buku apa saja saya baca. Kalau ke rumah saudara, yang pertama saya cari adalah buku di rumah itu.

Saat itu kami mengunjungi rumah adik bapak saya di daerah Wanayasa, daerah yang terpencil, PLN saja belum masuk.  Setelah saya cari-cari buku di rumah itu, yang ada ternyata hanya buku N*ck C*art*r, yang tokohnya adalah agen rahasia. Sialnya ada beberapa bagian buku itu berisi adegan vulgar.  Bertahun-tahun kemudian setelah saya cukup umur untuk melihat, wow, ternyata memang vulgar sekali 🙂

Saya ingat saat saya minta ijin bapak saya untuk membaca buku ini, beliau dengan santai membaca sekilas, lalu melipat bagian-bagian tertentu. Lalu dia bilang “Bagian ini untuk orang gede saja, jangan kamu baca”. Lalu beliau pergi. Saat saya baca, bapak sama sekali tidak mengecek, bahkan saat saya sudah selesai saya juga tidak ditanya apapun.

Apakah saya berani membaca bagian yang dilarang?

Jelas saya penasaran sekali 🙂 di umur tersebut rasa ingin tahu ‘kan besar sekali. Tapi tidak satu halamanpun bagian terlarang saya baca. Mengapa? Tidak tahu juga, mungkin itulah artinya diberi kepercayaan.

Sekarang itu saya terapkan ke Furqon. Buku berjudul “teka-teki gaul” yang dia beli ternyata memiliki bagian teka-teki dewasa (alias jorok).  Sama dengan bapak saya dulu, saya lipat bagian itu dan meminta Furqon untuk tidak membacanya. Dan dari yang saya lihat (secara sembuyi-sembunyi, penasaran soalnya 🙂 ) dia samasekali tidak membaca bagian itu.

Tentu saja model seperti ini membutuhkan dua hal dari orang tua: menepati janji dan tidak berbohong. Saya lihat beberapa ortu yang tidak mau menepati janji, dengan alasan: “Ah masih anak-anak ini, paling lupa”. Atau berbohong seperti: “Pulang sekarang, nanti diberi kue”, “Jangan kesana!, ada hantu”. Menurut saya hal seperti itu tidak terlihat pengaruhnya di masa kecil, tetapi akan terlihat saat dia beranjak dewasa.

10 tanggapan untuk “Memberi Kepercayaan kepada Anak”

  1. IMO, asal anak sendiri, lebih gampang dipercaya daripada orang dewasa 🙂

    Kalau anak orang lain sih tergantung ortunya (atau pengasuhnya) hehe. Soalnya banyak pengasuh menggunakan model ingkar janji dan bohong. Memang tujuan mereka jangka pendek, yang penting target tercapai. Wajar saja sih, saya tidak menyalahkan mereka.

  2. wah, patut dicoba bila saya nanti sudah menikah dan punya anak (masih kuliah di upi) he5.

    yang pasti, ortu harus mendidik anak dengan baik dan benar agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik

  3. @mbel,
    marah juga penting lho. Pengasuh biasanya nggak bisa marah kayak orang tua aslinya hehe. Tapi yang penting harus jelas alasan kenapa kita marah. Jangan sampai anak jadi pelampiasan kekesalan kita untuk hal lain.

  4. Senang makin banyak orang tua yang mendidik dengan prinsip kejujuran dan kepercayaan.

    Pengalaman saya juga kurang lebih sama, tidak begitu sulit menanamkan nilai seperti itu ke anak. Biasanya kesulitannya timbul bukan dari anak, tapi hampir selalu justru dari orang tuanya. Mendidik anak pada dasarnya mendidik diri sendiri 🙂

    Kebetulan di rumah ada keponakan (sudah mahasiswa) dan adik (mahasiswa juga). Kadang merasa lucu juga kalau misalnya keponakan nonton acara sinetron lalu anak saya berujar “kok xyz nonton sinetron, kan nggak bagus” 🙂

  5. Makasih 🙂 ya memang harus disebarluaskan cara mendidik seperti ini. Sederhana, tapi ternyata banyak yang tidak melakukannya.

Tinggalkan Balasan ke yudiwbs Batalkan balasan